Tanggapi Putusan MK, Kejagung Tegaskan Pemeriksaan Jaksa Tetap Butuh Izin Jaksa Agung
:strip_icc()/kly-media-production/medias/5292222/original/022875000_1753247405-efee62e2-84c3-4d97-89c6-32bf7b5f099d.jpg)
Majalah Jakarta Selatan – Kejaksaan Agung (Kejagung) menegaskan bahwa pemeriksaan terhadap jaksa oleh aparat penegak hukum (APH) lain tetap memerlukan izin dari Jaksa Agung, meski Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan putusan yang mengabulkan sebagian uji materi terkait Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
Penegasan ini disampaikan oleh Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Anang Supriatna, di Kompleks Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, Sabtu (18/10/2025). Menurutnya, semangat dari aturan izin tersebut bukan untuk menghalangi penegakan hukum, melainkan untuk menjaga independensi, koordinasi antar-lembaga, dan akuntabilitas dalam sistem peradilan pidana.
“Yang tidak diatur dalam putusan MK itu hanya kegiatan tanpa izin, seperti operasi tangkap tangan (OTT). Tapi secara prinsip, setiap pemeriksaan terhadap jaksa oleh aparat lain tetap perlu izin Jaksa Agung. Kami justru mendorong para jaksa agar bekerja makin profesional, berintegritas, dan tidak takut dalam menjalankan tugasnya,” ujar Anang.
Rincian Pengecualian dalam Putusan MK
Mahkamah Konstitusi sebelumnya mengabulkan sebagian uji materi terhadap pasal yang mengatur mekanisme izin Jaksa Agung dalam pemeriksaan jaksa. Dalam putusannya, MK menyatakan bahwa mekanisme izin tidak berlaku untuk tindakan hukum tertentu yang bersifat mendesak atau menyangkut kepentingan umum yang besar.
Menurut Anang, pengecualian itu telah dijelaskan secara rinci oleh MK.
“Pengecualian hanya berlaku untuk kasus-kasus yang menyangkut tindak pidana khusus, ancaman hukuman mati, atau perkara yang berkaitan langsung dengan keamanan negara,” jelasnya.
Namun di luar konteks tersebut, lanjutnya, setiap proses pemeriksaan, pemanggilan, atau penindakan terhadap seorang jaksa tetap harus memperoleh izin dari Jaksa Agung sebagai pimpinan lembaga. Mekanisme ini, menurut Anang, bukan bentuk kekebalan hukum, tetapi bagian dari sistem kontrol internal agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan antara lembaga penegak hukum.
Apresiasi terhadap Putusan MK
Kejagung menyambut baik putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dan menilai keputusan itu sebagai langkah penting untuk memperkuat tata kelola hukum di Indonesia. Anang menegaskan bahwa Kejaksaan melihat putusan MK sebagai bentuk penguatan profesionalitas, transparansi, dan akuntabilitas kinerja para jaksa di seluruh Indonesia.
“Kami mengapresiasi putusan MK karena itu menjadi pengingat bagi seluruh jajaran kejaksaan agar tetap berpegang pada prinsip integritas dan profesionalisme. Putusan ini menegaskan bahwa penegakan hukum harus dilakukan secara proporsional, sesuai dengan aturan, dan saling menghormati antar-lembaga,” ucapnya.
Ia juga menambahkan, Kejaksaan Agung terus melakukan penguatan sistem pengawasan internal, baik melalui Inspektorat maupun pengawasan fungsional, untuk memastikan setiap jaksa menjalankan tugasnya sesuai kode etik dan ketentuan hukum.
“Kami tidak akan mentolerir pelanggaran etik ataupun penyalahgunaan kewenangan. Tapi kami juga ingin memastikan setiap proses pemeriksaan berjalan sesuai hukum dan tidak dilakukan secara serampangan,” katanya.
Latar Belakang Putusan MK
Uji materi terhadap Pasal 8 Ayat (5) UU Kejaksaan diajukan karena pasal tersebut dianggap berpotensi menghambat proses hukum terhadap oknum jaksa yang diduga melakukan tindak pidana. Dalam amar putusannya, MK menyatakan bahwa izin Jaksa Agung tidak dapat dijadikan alasan untuk menunda tindakan hukum yang bersifat mendesak, seperti OTT, atau dalam kasus tertentu yang mengancam keselamatan negara.
Putusan MK itu sekaligus menegaskan prinsip kesetaraan di depan hukum (equality before the law), namun tetap menjaga kewenangan lembaga penegak hukum agar tidak saling melampaui batas.
Pakar hukum tata negara menilai, keputusan MK ini menjadi titik tengah antara perlunya pengawasan terhadap jaksa dan tetap menjaga kemandirian lembaga kejaksaan. “Kejaksaan memiliki karakter unik karena selain penegak hukum, mereka juga mewakili negara. Maka mekanisme izin ini penting agar tidak terjadi kriminalisasi jabatan,” ujar pengamat hukum dari UI, Dr. Fajar Nugroho, seperti dikutip dalam pernyataannya.
Dorongan Profesionalitas dan Integritas
Lebih lanjut, Anang menegaskan bahwa Kejagung kini tengah memperkuat reformasi kelembagaan dan sumber daya manusia agar setiap jaksa dapat bekerja sesuai nilai Tri Krama Adhyaksa: Satya (setia), Adhi (sempurna), dan Wicaksana (bijaksana).
“Kita ingin membangun kultur kerja yang lebih terbuka, akuntabel, dan adaptif terhadap dinamika hukum. Jaksa harus berani menegakkan hukum dengan nurani, tapi juga disiplin pada aturan,” ujarnya menutup pernyataan.
Dengan demikian, meski ada pengecualian dalam putusan MK, Kejaksaan Agung menegaskan bahwa sistem izin Jaksa Agung tetap menjadi mekanisme penting untuk memastikan setiap proses hukum berjalan sesuai dengan prinsip independensi, koordinasi, dan keadilan yang seimbang.





