Majalah Jakarta Selatan — Kepolisian Resor Metro Jakarta Selatan akhirnya mengungkap identitas jasad seorang perempuan muda yang ditemukan tewas di kawasan Pejaten, Kecamatan Pasar Minggu, Jakarta Selatan, pada awal Oktober 2025. Korban diketahui berinisial RTA (14), seorang anak di bawah umur asal Indramayu, Jawa Barat, yang diduga kuat menjadi korban eksploitasi ekonomi dan seksual serta Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
Kasus ini menyorot tajam praktik eksploitasi terhadap anak dan lemahnya pengawasan terhadap rekrutmen tenaga kerja di sektor informal. RTA diketahui bekerja sebagai terapis di sebuah tempat spa meski masih berusia 14 tahun. Ia diduga terjerat jaringan perekrutan tidak resmi yang beroperasi melalui media sosial.
Identitas Korban Terungkap
Kapolres Metro Jakarta Selatan, Kombes Pol Nicolas Ary Lilipaly, dalam keterangan resmi pada Senin, 6 Oktober 2025, menyampaikan bahwa kepolisian terus mendalami kasus ini secara menyeluruh.
“Kami masih melakukan penyelidikan dan menggunakan Pasal 2 Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dan juga Undang-Undang Perlindungan Anak,” ujar Nicolas kepada wartawan.
RTA menggunakan KTP milik kerabatnya sebagai identitas palsu saat melamar pekerjaan. Cara ini digunakan agar ia bisa diterima sebagai pekerja dewasa meskipun usianya sebenarnya masih di bawah umur. Identitas asli korban kemudian berhasil dipastikan setelah polisi melakukan penelusuran ke Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) Kabupaten Indramayu.
“KTP yang digunakan oleh korban adalah milik kerabatnya yang masih keluarga,” kata Kepala Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Satreskrim Polres Metro Jakarta Selatan, AKP Citra Ayu, Jumat 4 Oktober 2025.
Awal Mula Korban Terjerat Rekrutmen
Menurut keterangan penyidik, korban mulai tertarik bekerja di tempat spa tersebut setelah melihat siaran langsung (live) temannya di media sosial TikTok. Dalam siaran itu, temannya menunjukkan lingkungan kerja dan penghasilan sebagai terapis. RTA kemudian mencari informasi lebih lanjut dan mendaftar secara daring.
“Korban awalnya tertarik setelah melihat siaran langsung temannya di TikTok, kemudian datang untuk mengikuti wawancara,” jelas Citra.
Dalam proses pendaftaran, RTA menggunakan nama samaran SA serta KTP palsu milik kerabatnya. Perekrutan dilakukan secara informal tanpa verifikasi ketat terhadap identitas dan usia calon pekerja, sehingga RTA diterima bekerja.
Data Kependudukan Mengungkap Usia Asli
Hasil pemeriksaan polisi terhadap data kependudukan mengonfirmasi bahwa korban sebenarnya masih berusia 14 tahun. Hal ini diperkuat oleh data Kartu Keluarga (KK) yang tercatat di Dinas Dukcapil Indramayu.
“Benar, yang bersangkutan sesuai data KK bernama RTA dan berusia 14 tahun,” tegas AKP Citra Ayu.
Pihak kepolisian menduga RTA merupakan korban eksploitasi yang dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk memperoleh keuntungan ekonomi dari praktik prostitusi terselubung yang berkedok spa dan pijat refleksi. Sejumlah saksi, termasuk manajemen tempat kerja korban, sedang diperiksa secara intensif.
Langkah Hukum dan Proses Penyelidikan
Kasus ini kini ditangani oleh Satuan Reserse Kriminal Polres Metro Jakarta Selatan melalui Unit PPA. Polisi telah menerapkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang TPPO serta Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Ancaman hukuman bagi pelaku perekrutan dan eksploitasi anak dalam kasus ini bisa mencapai 15 tahun penjara.
Selain memeriksa pihak spa, polisi juga berkoordinasi dengan Dinas Sosial dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) untuk menelusuri kemungkinan adanya jaringan perekrutan anak di bawah umur yang lebih luas, terutama melalui media sosial.
Kapolres Nicolas menegaskan bahwa aparat akan menindak tegas siapa pun yang terlibat dalam eksploitasi terhadap korban, termasuk perekrut, pemilik usaha, maupun pihak perantara.
“Kami tidak akan berhenti pada pelaku lapangan. Kami akan telusuri siapa yang merekrut, siapa yang mendapat keuntungan, dan apakah ada jaringan perdagangan orang yang lebih besar di balik ini,” ujar Nicolas.
Reaksi Publik dan Isu Perlindungan Anak
Kasus ini memicu reaksi keras dari masyarakat dan aktivis perlindungan anak. Banyak pihak menilai lemahnya pengawasan ketenagakerjaan di sektor informal memungkinkan anak-anak di bawah umur terekspos pada praktik eksploitatif. Platform digital seperti TikTok yang digunakan sebagai sarana perekrutan juga disorot karena menjadi celah bagi pelaku kejahatan.
Pengamat hukum pidana dan perlindungan anak menyatakan bahwa kasus ini bukan insiden tunggal. Fenomena eksploitasi anak di tempat spa atau panti pijat telah beberapa kali mencuat di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Mereka mendesak pemerintah untuk memperketat pengawasan dan menutup tempat usaha yang mempekerjakan anak di bawah umur.
Tuntutan Penegakan Hukum yang Tegas
Lembaga swadaya masyarakat dan KPAI mendesak kepolisian bergerak cepat, tidak hanya menyasar pelaku lapangan, tetapi juga pemilik modal dan jaringan di balik perekrutan ilegal tersebut. Mereka juga meminta pemerintah memperkuat program edukasi dan perlindungan sosial di daerah asal anak-anak korban, seperti Indramayu, untuk mencegah praktik serupa terulang.
“Banyak anak yang akhirnya pergi ke kota karena tergiur janji kerja dan gaji tinggi. Ini menunjukkan celah besar dalam sistem perlindungan anak kita,” ujar salah satu aktivis perlindungan anak di Jakarta.
Konteks Kasus
Kasus RTA bukan hanya menyangkut kematian tragis seorang anak, tetapi juga membuka tabir perdagangan orang berkedok lowongan kerja di media sosial. Perkembangan penyelidikan ini akan menjadi ujian bagi aparat penegak hukum dalam melindungi kelompok rentan dari praktik eksploitasi modern.
Hingga kini, penyidikan masih berlangsung, dan polisi telah mengamankan sejumlah barang bukti serta melakukan pemeriksaan intensif terhadap saksi-saksi. Publik menantikan langkah tegas untuk memastikan keadilan bagi korban dan mencegah tragedi serupa terjadi lagi.